Oleh: Khairunnas (Pemerhati Sosial)
SANGA.ID. Dalam sebuah seminar nasional pendidikan, seorang kawan, wartawan senior, berkisah tentang sosok gurunya yang menjadi inspirasi dalam perjalanan karirnya. Cerita ini membawa saya pada pengalaman 32 tahu lalu. Ketika itu usia saya baru menginjak 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD di sebuah kampung terisolir Sumatera Barat. SD adalah satu-satunya jenjang pendidikan milik pemerintah yang ada saat itu di kampung pesisir yang indah itu. Memang ada madrasah tsanawiyah milik Muhammadiyah yang bisa menampung anak kampung itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun terkadang sekolah itu beroperasi dan terkadang tidak, tergantung ada guru atau tidak yang mau mengajar.
Oleh karena tiadanya sekolah yang memadai untuk melanjutkan pendidikan, maka sebagian besar anak kampung yang bernama Maligi itu harus pergi ke daerah lain kalau ingin mencicipi pendidikan yang lebih tinggi. Biasanya mereka akan ke daerah lain yang lebih maju dari sisi pendidikan, seperti desa tetangga Sasak, Kecamatan Ujung Gading, atau Kota Simpang Empat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Pasaman Barat setelah dimekarkan dari kabupaten induk Pasaman.
Selama sekolah di daerah lain, anak-anak Maligi harus tinggal di kos atau asrama. Hal ini karena jarak tempuh antara tempat sekolah dengan kampung mereka tidak memungkinkan untuk pulang pergi. Saat itu, bahkan sampai sekarang, akses jalan ke Maligi belum diaspal sehingga tidak ada transportasi umum yang dapat membawa anak-anak itu ke sekolah mereka setiap harinya.